Dalam ranah hukum dan keadilan, insiden penyerangan terhadap tempat ibadah adalah isu yang sangat sensitif dan perlu ditangani dengan serius. Kasus penyerangan rumah doa di Kelurahan Padang Sarai, Kota Padang, menjadi peringatan akan perlunya penguatan hak-hak beragama di Indonesia.
Serangan ini tidak hanya menimbulkan kerugian fisik, tetapi juga mengancam kebebasan beribadah yang dijamin oleh konstitusi. Saat jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) tengah melaksanakan aktivitas keagamaan, situasi damai tersebut terganggu oleh tindakan intoleransi yang mencolok. Bagaimana tindakan ini bisa terjadi di tengah masyarakat yang mengklaim dirinya pluralis?
Implikasi Sosial dari Tindakan Intoleransi
Peristiwa penyerangan di GKSI menunjukkan betapa pentingnya menjaga keharmonisan antaragama. Sebagian orang mungkin berpikir bahwa kebebasan beragama hanya berlaku bagi kelompok tertentu, padahal ini adalah hak yang universal. Mengacu pada Pasal 29 UUD 1945, setiap warga negara harus dapat menjalankan ibadahnya secara bebas tanpa adanya ancaman dari pihak manapun.
Penting untuk dicatat, tindakan intoleransi tidak hanya mengakibatkan kerugian fisik, tetapi juga menciptakan trauma mendalam, terutama pada anak-anak yang menjadi saksi atau korban langsung. Dalam insiden ini, dua anak mengalami kekerasan fisik yang menyakitkan, sebuah gambaran nyata dari dampak destruktif intoleransi. Menurut Diki Rafiki, Direktur LBH Padang, anak-anak ini tidak hanya menghadapi luka fisik tetapi juga psikis yang berat, yang bisa berdampak jangka panjang.
Strategi Penegakan Hukum dan Perlindungan Kebebasan Beragama
Pengusutan tuntas terhadap kasus ini sangat penting. LBH Padang mendesak pihak kepolisian untuk segera bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan. Memahami bahwa tindakan ini merupakan delik umum, penegakan hukum seharusnya menjadi prioritas tanpa harus menunggu klaim dari korban. Penegakan hukum yang tegas menjadi simbol komitmen negara dalam melindungi kebebasan beragama dan menanggulangi intoleransi.
Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan maupun persekusi atas dasar keyakinan. Negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 156 dan 175 KUHP, harus proaktif dalam menanggapi ancaman-ancaman seperti ini. Adalah kewajiban konstitusional untuk menindak pelaku kekerasan berbasis kebencian, serta memastikan bahwa semua kelompok agama bisa beribadah dengan aman.
Dengan memperkuat proses hukum dan meningkatkan edukasi tentang toleransi dan hak asasi manusia, diharapkan masyarakat dapat lebih sadar akan pentingnya menghargai perbedaan. Tindakan tegas terhadap pelanggaran kebebasan beragama akan memberikan sinyal kuat bahwa intoleransi tidak akan ditoleransi, dan semua orang memiliki hak untuk beribadah dengan tenang dan nyaman.