Perdebatan mengenai rangkap jabatan di sektor publik semakin intensif, terutama dalam konteks peraturan undang-undang yang mengatur posisi-posisi strategis di pemerintahan. Saat ini, fokus perbincangan tertuju pada permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau kembali ketentuan terkait jabatan wakil menteri.
Permohonan tersebut menekankan pentingnya kejelasan dalam aturan yang menyangkut larangan bagi pejabat publik untuk merangkap jabatan, khususnya dalam Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara. Hal ini dianggap krusial karena status wakil menteri dianggap setara dengan Menteri yang juga diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Urgensi Penambahan Frasa “Wakil Menteri”
Pemohon mengatasi isu rangkap jabatan dengan meminta agar MK menambahkan frasa “wakil menteri” ke dalam Pasal 23. Tujuan dari permohonan ini adalah untuk memastikan bahwa larangan rangkap jabatan tidak hanya berlaku untuk menteri, tetapi juga untuk posisi wakil menteri. Keberadaan aturan ini mengacu pada Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menekankan bahwa larangan tersebut berlaku bagi semua yang memiliki posisi setara dalam struktur pemerintahan.
Fakta ini merujuk pada kondisi saat ini di mana Pasal 27B dan 56B Undang-Undang BUMN juga mencakup larangan serupa untuk dewan komisaris dan dewan pengawas. Namun, keberadaan frasa “jabatan apa saja” dalam kedua pasal tersebut masih dirasa kurang tegas. Hal ini membuka celah bagi kemungkinan benturan kepentingan yang lebih besar, yang tentunya dapat merugikan sistem pemerintahan yang baik.
Pentingnya Kepastian Hukum dalam Struktur Pemerintahan
Dalam perspektif hukum dan kebijakan publik, ketidakjelasan dalam aturan mengenai larangan rangkap jabatan ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi negara. Tidak adanya kepastian hukum yang jelas berpotensi menciptakan kondisi di mana individu dengan kekuasaan memiliki banyak posisi strategic sekaligus, yang dapat memperburuk integritas dalam pengambilan keputusan.
Saran dari Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih, untuk mempertajam uraian perbedaan norma yang ada menjadi penting dalam konteks ini. Dengan mendorong para pemohon untuk membuat perbandingan dengan sistem pemerintahan di negara lain yang juga memiliki struktur presidensial, diharapkan akan muncul argumen yang lebih kuat yang dapat mendukung kebutuhan untuk meninjau dan memperbaiki aturan yang sudah ada.
Penyelidikan tentang bagaimana negara lain menangani isu serupa dapat memberikan insight yang diperlukan untuk memperkuat argumentasi dalam permohonan ini. Misalnya, banyak negara dalam sistem presidensial memiliki batasan yang ketat terhadap rangkap jabatan, yang berfungsi untuk mencegah potensi konflik kepentingan.
Seiring dengan perkembangan ini, sangat penting bagi semua pihak yang terlibat, baik itu pemohon maupun lembaga hukum, untuk melakukan analisis lebih mendalam. Keseimbangan antara kebutuhan untuk memberikan kekuasaan yang cukup kepada pejabat publik dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan harus menjadi prioritas utama dalam pembahasan ini.